6/02/2006

Jangan Matikan Lampu Di Kamar Kerja Saya

“Kebahagian bukan tujuan, tapi sebuah perjalanan”
(Margareth Lee Runbeck, 1905 – 1956)



Sedih, meratap, sedu-sedan, tangisan ataupun sekedar meneteskan air mata. Orang Islam akan langsung mengucap innalillahi wa inna’illaihi roj’iun, segala sesuatu berasal dari allah dan akan kembali kepadanya. Atau kita mengungkapkan melalui bahasa yang katanya lebih “beradab” dengan ash to ash, dust to dust. Yang bermakna bahwa segala sesuatu akan berakhir atau kembali seperti awal penciptaanya.
Memang sebuah kematian akan selalu menjadi tragedi bagi manusia. Oleh karena itu kematian dapat diartikan sebagai sebuah keniscayaan hidup, dengan kata lain seorang mahasiswa tak akan lengkap menjadi sarjana tanpa melewati sebuah proses wisuda, maka tak lengkap seseorang menjadi manusia tanpa melewati kematian. Keniscayaan tersebut menjadikan kita mensyakralkan sebuah kematian dengan berbagai ritual, upacara, dan lain-lainnya. Keniscayaan itulah yang menjadikan kita siap ataupun tidak harus dengan lantang menghadapinya.
Ketika kematian merupakan sebuah kepastian harus kita lewati, lalu bagaimana kita memaknai sebuah kematian itu? Selain itu tak lepas juga bagaimana kita mengartikan hidup?.
Martin Heideger pernah melontarkan pertanyaan tajam mengenai ini “bila manusia seperti dilempar dalam rentangan waktu dengan ketakutan dasyat bahwa ia akan mati, lalu apa makna sejati waktu (peziarahan) hidup manusia?. Bukankah ia sesungguhnya adalah peziarahan hidup menuju kematian (Sein Zum Tode)?”
Nah, kematian diambang batas akhir waktu itulah yang mencemaskannya!!. Mengapa? jangan-jangan ia datang begitu saja. Jangan-jangan ia hadir menjemput begitu saja?. Maka cemaslah manusia dan masuk dalam (yang disebut Heideger) Angst (ketakutan dasyat berhadapan dengan kematian manakala menyadari waktu rentang hidupnya menuju ke sana).
Kematian merupakan kepergian dari sebentuk raga dan kematian tak akan dapat menghilangkan roh/spirit/semangat dari raga ketika masih hidup. Spirit tersebut akan terus hidup walau raga telah mati. Bahwa gagasan berharga yang ditinggalkan oleh raga akan terus diperjuangkan oleh raga-raga (orang) yang lainnya. Dan inilah membuat kematian kita serasa lebih mudah dihadapi dan ditatap dengan mata berbinar. Dan karena inilah kematian kita akan menjadi tragedi bagi manusia.
Kematian St Valentine, seorang imam Katolik dari Roma, layak untuk diungkapkan kembali. St Valentine hidup pada jaman kekaisaran Claudius II yang ingin mengembangkan sayap kekuasaannya dengan mengharuskan para pria lajang bergabung dalam bala tentara Roma. Karena ambisi Claudius II tersebut, akhirnya pernikahan pun tidak diizinkan sehingga banyak laki-laki yang pergi ke medan peperarangan.
Valentine secara diam-diam memberkati beberapa pasangan yang ingin menikah, tanpa mengindahkan ancaman yang diberikan oleh Claudius II. Akhirnya Valentine tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Pada saat menunggu prases hukuman mati berikan, Valentine jatuh cinta pada anak seorang penjaga penjara yang buta (pada saat itu tidak ada aturan imam katolik untuk selibat). Dan sebelum dijatuhi hukuman mati Valentine menulis sepucuk surat kepada gadis tersebut. Dalam akhir suratnya tertulis “from your Valentine”. Dia meninggal dunia pada bulan February tahun 270.
Terlepas dari bentuk penghormatan kepada St Valentine sekarang ini melalui perayaan hari Valentine, yang perlu dipahami adalah keberanian St Valentine menentang kebijakan yang dianggap olehnya salah. Hal inilah yang menjadikan kematiannya berharga dan dihormati oleh manusia sesudahnya.
Kawan, pertanyaan yang muncul bukan lagi sudah siapkah kita menghadapinya atau apakah terjadi Angst dalam diri kita? tapi sudah layakkah kita meninggalkan dunia ini untuk menghadap yang Esa (siapapun namanya)? Karena kematian menjadi sebuah tragedi bila kita telah memberikan sebuah spirit dalam kehidupan. Spirit itulah yang membuat roh tetap hidup walau raga kita telah mati. Jadi, sudah pantaskah kita berpesan seperti Harry Roesli “Jangan matikan lampu dikamar kerja saya”?!!!.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home