10/21/2006

Berbicara atau Berpendapat, Siapa Yang Punya?

Bagian#2 (Bersambung)

Cerita sebelumnya memunculkan semacam pertanyaan bagi kita sebagai makluk ens rationalist. Sebenarnya apakah boleh seorang perempuan menyuarakan pendapatnya atau haknya dalam kehidupan ini?. Apakah terdapat kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan dalam menyuarakan pendapatnya?. Ini mungkin sebuah pertanyaan yang sederhana bagi banyak orang, akan tetapi bila direnungkan lebih lanjut merupakan sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Memang kita boleh mengatakan bahwa kebebasan berpendapat adalah milik semua orang tak terkecuali, perempuan. Jadi perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menyuarakan pendapatnya. Tetapi dalam kenyataanya, hal ini tak terjadi. Perempuan lebih banyak menerima (nrimo) dan seringkali perempuan yang menyurakan haknya ataupun pendapatnya distigmakan sebagai seorang yang membangkang, tak tahu adat, atau yang lebih parah dicap sebagai pendosa. Hal inilah yang mungkin menjadikan perempuan cenderung untuk DIAM dan mencoba menerima segala sesuatu yang ia alami tanpa adanya sebuah proses dialektis didalamnya.

Perjuangan perempuan agar diakui keberadaanya, dimulai oleh Olympe de Gouges. Pada tahun 1791 kurang lebih dua tahun setelah meletus revulosi perancis, Olympe de Gouges menerbitkan sebuah deklarasi hak asasi kaum perempuan. Hal ini dia lakukan karena dalam Deklarasi hak asasi warga negara tidak memasukkan satu artikel pun mengenai hak almiah kaum perempuan. Olympe de Gouges menuntut hak yang sama bagi perempuan sebagaimana yang diberikan kepada laki-laki. Namun, apa yang terjadi setelah ia menuntut kesetaraan hak tersebut?. Pada tahun 1793, kepala Olympe de Gouges dipenggal dan seluruh aktivitas politik bagi kaum perempuan dilarang.

Kemudian, Simone du Beauvoir seorang eksistensialis feminis melalui bukunya The Second Sex (1949), menyatakan penolakannya terhadap "sifat dasar perempuan" dan "sifat dasar laki-laki:". Lebih lanjut lagi, Simone juga mengatakan bahwa perempuan dalam kebudayaan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. laki-laki bertindak seakan-akan mereka adalah subyek dan perempuan merupakan obyek.

Kondisi perempuan saat ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan kondisi dimasa lalu, seperti yang digambarkan diatas. Memang, kita sadari bahwa sekarang ini perempuan telah banyak mengerti mengenai hak dan kewajibannya. Namun masih banyak pula hal-hal atau hak-hak yang masih dikebiri dan dinisbikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kita ambil contoh mengenai banyaknya kekerasan terhadap perempuan di masyarakat. Dan hal ini kurang disadari oleh kaum perempuan itu sendiri, betapa tidak dengan banyaknya kasus-kasus diatas ternyata masih banyak pula perempuan yang tidak tergerak untuk menyuarakan kekerasan yang dialami. Sebagian besar dari mereka menganggap kebisuannya ini merupakan bagian dari kepatuhannya kepada suami, ataupun laki-laki.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home