8/30/2006

Ada Dengan Perempuan ?

Ramayana dari asal kata Rama yang berarti menyenangkan, menarik, anggun, cantik, bahagia, dan Yana berarti pengembaraan. Cerita inti Ramayana diperkirakan ditulis oleh Walmiki dari India disekitar tahun 400 SM yang kisahnya dimulai antara 500 SM sampai tahun 200 M, dan dikembangkan oleh berbagai penulis. Kisah Ramayana ini menjadi kitab suci bagi agama Wishnu, yang tokoh-tokohnya menjadi teladan dalam hidup, kebenaran, keadilan, kepahlawanan, persahabatan dan percintaan, yaitu: Rama, Sita, Leksmana, Sugriwa, Hanuman, Wibisana.
Di cerita Ramayana ini dikisahkan tentang Sinta, isteri Rama yang disangsikan kesuciaannya oleh suaminya sendiri. Dan ini menyebabkan Sinta amat menderita karena tidak segera diterima oleh Rama karena dianggap ternoda. Oleh karena itulah Sinta melakukan ritual pembersihan diri dari kobaran api, Sinta diterimanya. Dijelaskan oleh Rama, bahwa penyucian itu harus dilakukan untuk menghilangkan prasangka buruk atas diri isterinya.
Disini dapat kita lihat bahwa perempuan yang disangsikan oleh suaminya sendiri harus melakukan sebuah ritual pembersihan diri. Dan ini menempatkan seorang laki-laki sebagai pemegang moral tentang baik tidaknya tindakan isterinya. Dalam sebuah budaya yang mengagungkan laki-laki, tindakan-tindakan yang mendeskriditkan perempuan merupakan sebuah kewajaran. Padalah tindakan-tindakan tersebut merupakan awal dari terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan pendapat Mansour Fakhih, Bahwa tindakan diskriminasi terhadap perempuan dapat menimbulkan kekerasan terhadap perempuan baik di wilayah publik maupun wilayah domestik.
Kekerasan terhadap perempuan dikota Semarang khususnya kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan dalam pacaran, berdasarkan penelitian penulis disebabkan oleh tiga permasalahan. Permasalahan tersebut adalah pertama, budaya masyarakat kota Semarang yang patriarki. Kebudayaan patriarki dapat diartikan sebagai suatu struktur masyarakat di mana kaum lelaki yang memegang kekuasaan, dipandang sebagai struktur yang memperlemah perempuan, yang terlihat dalam kebijakan pemerintah maupun dalam perilaku masyarakat. Kedudukan laki-laki yang dominan dalam struktur masyarakat menyebabkan laki-laki merasa memiliki kontrol yang lebih terhadap perempuan yang memiliki relasi personal dengannya. Lebih mengenaskan lagi kebudayaan yang tidak berpihak kepada perempuan tersebut terus ditanamkan kepada generasi selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat bahwa kebudayaan tersebut harus dibiasakan dengan cara belajar sehingga terinternalisasi ke generasi selajutnya. Dengan demikian kekerasan terhadap perempuan akan terus terlanggengkan, sehingga menjadi sistem yang memperlemah kedudukan perempuan.
Kedua, hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan (gender different). Gender different yang terjadi dimasyarakat Semarang seperti pembagian kerja, laki-laki bekerja dibidang publik sedang perempuan bekerja dibidang domestik dan lain-lain, menyebabkan marginalisasi, subordinasi, adanya stereotif, dan kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan Karl Mannheim dalam masyarakat patriarchat, terdapat pemisahan dalam mata pencarian antara perempuan dan laki-laki, dimana laki-laki bekerja sebagai prajurit dan pemburu yang dianggap sebagai pekerjaan yang mulia sedangkan perempuan bekerja dibidang pertanian, yang sebagai pekerjaan rendahan. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya stereotif yang dilekatkan kepada perempuan seperti perempuan itu mudah dirayu, lemah, dan lain sebagainya.
Ketiga, kontrol sosial masyarakat yang rendah. Selama ini kekerasan terhadap perempuan oleh masyarakat masih dianggap sebagai urusan domestik oleh karena itu masyarakat cenderung angkat tangan apabila melihat kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Hal ini disebabkan oleh tatanan masyarakat yang patriaki sehingga kekerasan yang dilakukan dianggap sebagai hal yang wajar. Dan ini merupakan sebuah bentuk dari pelanggengan dari status quo, sehingga masyrakat cenderung mempertahankan tatanan yang telah ada. Pelangengan status quo berdasarkan pendapat Astrid S. Susanto diperlukan pengawasan (social control) hal ini terjadi dikarenakan setiap kelompok akan berusaha untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan ikatan kelompok, hal mana dilakukanya melalui penaatan terhadap norma-norma yang berlaku ataupun tujuan terhadap tertentu. Ditambah lagi, Semarang sebagai kota yang metropolitan sehingga budaya kolektifitas tergantikan dengan budaya indivudualitas. Dengan budaya yang seperti itu masyarakat kota Semarang terkesan acuh dengan apa yang terjadi di lingkungannya sendiri.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia pasti ada yang melatarbelakanginya, begitu juga kekerasan terhadap perempuan di kota Semarang. Kekerasan terhadap perempuan di kota Semarang setidaknya didasari oleh tiga faktor antara lain; pertama, eksistensi diri. Eksistensi diri dimaksudkan sebagai sebuah keinginan untuk menunjukan keberadaan dari masing-masing pihak, dalam hal ini adalah perempuan dan laki-laki. Dan ketika eksistensi mereka terganggu maka mereka akan berusaha mati-matian untuk mempertahankannya. Karena laki-laki memiliki agresifitas yang tinggi, maka apabila terjadi konflik diantara keduanya, laki-laki cenderung menggunakan kekerasan sebagai jalan penyelesaian konflik tersebut.
Kedua, kebiasaan buruk pelaku. Setiap pelaku tindakan kekerasan terhadap perempuan memiliki kebiasaan yang dapat menunjang terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dalam penelitian ini pelaku kekerasan terhadap perempuan memiliki kebiasaan-kebiasaan seperti, pemabuk, selingkuh, abusive, dan posesif. Kebiasaan-kebiasaan yang seperti itu ternyata dapat menunjang kekerasan terhadap perempuan di kota Semarang.
Ketiga, pemaafan korban. Kekerasan yang terjadi pada perempuan tidak lepas dari perempuan itu sendiri sebagai korban. Selama ini korban kekerasan yang melaporkan kekerasan yang terjadi kepadanya disebabkan karena korban sudah tidak tahan dengan kekerasan yang dia terima. Korban kekerasan cenderung memaafkan tindakan-tindakan kekerasan yang selama ini dia terima. Tindakan ini merupakan bentuk kepasrahan korban kekerasan. Biasanya korban kekerasan akan berharap agar pelaku akan sadar dengan tindakan yang telah dia lakukan tersebut salah dan tidak menggulanginya lagi. Namun hal ini semakin menjerat korban untuk mendapatkan kekerasan yang lebih parah.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home