10/21/2006

Tarawang

Pejam mata dan bayangkan
Terawang Setiap kata dan tindakan
Lalu langit injaklah bumi
Tak perlu kata untuk bicara
Tak butuh nada atau rima
Hanya senandung penuh makna

Hitamkan trus menghitam
Lalu biarkan putih bicara
Tentang mimpi, harap, serta as
Kuburkan apa yang harus terkubur
Singkap apa yang tersirat

Mimpi

Sudah sadarkah engkau mimpi
Terbang indah dunia imagi
Buang asa tuk berganti
Lalu lihat apa yang terjadi

Disini ada mentari
Tertuang dalam wadah
Bernama hati
Tenang jiwa berbunga melati
Semerbak mengharum kamboja

Lillith

Aku bukan seorang pembangkang
Tidak juga perusak sebuah tatanan
Atau Penganggu harmoni kehidupan
Aku adalah neraca yang terlupakan
Mungkin juga si anak panah yang terlepaskan
Terbang laksana camar lautan seberang

Aku bukan budak-belian
Tidak juga kumpulan semut rangrang
Atau kupu-kupu yang terbang bersama sayap indahnya
Aku adalah jarum yang tajam
Mungkin juga cambuk pelecut jiwa yang terkekang

Dan ini bukan pilihan atau sebuah kecongkakan
Namun, siapa yang mampu menegakkan lingga?
Ketika daya telah terserap kuasa
Kala malam kian hitam
Lalu kau terdiam...
Tapi, bukan untuk menjelang fajar
Hanya menunggu sang Temis datang
MAKA...........
Aku adalah perlawanan!!!

Bukan Syair Cinta

Ini bukan syair cinta
Yang akan membuatmu berderai air mata
Bukan juga kidung rindu
Yang mengebu bercampur hawa cemburu
Atau sebuah sajak pelipur lara
Saat senja terus mendera

Ini hidup kawan
Berbunga diantara kelopak yang bernama fana
Bernafas bersama cita-cita
Berjiwa asa yang terangkai nurani
Dan kata telah sirna
Sejak kabut menyapu keheningan malam itu

Terus lenyap terbang
Bersama putik sari mimpi
Melewati waktu bersinggung ragu

Adakah engkau sebuah kesia-siaan
Atau sebuah rencana besar yang terbentangkan
Namun disini ku berdiri menantang
Masih dalam renung kebisuan
Engkau datang.

Berbicara atau Berpendapat, Siapa Yang Punya?

Bagian #3(Habis)

Sebenarnya masalah apakah perempuan tidak boleh banyak berbicara dan berpendapat merupakan masalah yang usang bila kita mendasarkan pada pendapat Rene Descrates, seorang filusuf Yunani. Dengan pendapatnya "Cognito Ergo Sum" bahwa setiap fenomena yang terjadi di sekitar kita harus ditemukan jawabannya. "Berfikirlah maka kamu ada" begitulah kira-kira Descrates mencoba untuk menerangkan kepada kita tentang banyaknya fenomena yang ada dan membutuhkan pemecahannya untuk menjadikan atau memperlihatkan ke-ADA-an kita sebagai manusia.

Berdasarkan pendapat Descrates tersebut maka dapat kita lihat bahwa hak untuk bicara dan berpendapat bukan hanya milik jenis kelamin tertentu, tetapi milik makluk hidup yang bernama manusia. Sehingga jenis kelamin bukan meruupakan faktor penentu seseorang boleh berbicara atau mengungkapkan pendapatnya tetapi lebih pada keinginan orang tersebut untuk mengungkapkan pendapatnya.

So, ketika perempuan menyuarakan hal-hal yang dialami dan berpendapat mengenai kondisinya maupun masyarakatnya merupakan sebuah keharusan. Patut disadari juga bahwa perempuan juga makluk ens rationalis maksudnya manusia sebagai makluk yang mampu menimbang tindakannya, keputusannya, dan memilih pilihan terbaik menurut nuraninya baik untuk dirinya maupun sesamanya, maka dengan demikian mereka dapat menggunakan rasionya (pikirannya) untuk menyuarakan apa-apa yang dipikirannya. Apalagi, kita juga homo significants yaitu makluk pemberi makna dalam kehidupan ini. Dengan inilah kita dapat menjadikan dunia ini menjadi nyaman dan menyenangkan untuk ditinggali. Lebih lanjut lagi, perempuan (berdasarkan pendapat Karl Mark) dianugerahi kemampuan verbal yang tinggi sehingga apa yang salah dengan permpuan yang berusaha mengeluarkan pendapatnya atau berbicara mengenai kondisi dirinya?.

Maka kawan sekarang bukan pada jenis kelamin kita mencoba untuk mengusik siapa yang harus ngomong. Tetapi pada kemamuan kita untuk berbicara dan berpendapat mengenai apaun yang kita rasakan. Adalah sebuah kecerobohan yang multlak bila kita melarang seseorang untuk berbicara dan berpendapat hanya karena jenis kelaminnya perempuan. Tuhan pun tak pernah membedakan makluknya menurut jenis kelamin untuk masuk ke dalam surganya. Jadi mengapa kita sebagai makluk ens rationalis dan homo significants mencoba mengurangi sebagian hak (dalam hal ini perempuan) untuk berpendapat dan berbicara. And at last, stand up and speak with your voice, girls.

Selepas Cerita

Balut luka habis cerita
Bungkus amarah yang bertahta
Luas dunia berselimut cinta
Dan langkah ini tak berubah
Hanya jalan belukar beraral halangan
Indah bila roman bersandar
Dan kau beriku kecupan

Jenu aku membaca
Menuliskan kata
Melukiskan pena
Tak banyak yang tercipta
Dan pada batu biru, ku termangu
Maut sebuah keniscayaan
Mengapa hanya itu yang kau risaukan
Bukan masih banyak yang terlewatkan, sayang

Muntah, Lumat dan Tenanglah

Sebelum aku tertidur dalam lelap
Sebelum habis embun tersiram mentari
Sebelum lenyap madu terisap mulutmu
Muntah....Muntah-muntahkanlah

Selama malam tetap kelam
Selama Senja memancar jingga
Seperti kembang menanti kumbangnya
Lumat......Lumat-lumatkanlah

Sesudah angin berlalu
Sesudah kicau burung mereda
Sesampai kita digerbang ketentraman jiwa
Tenang......Tenang-tenangkanlah

Lalu usap roman dan bacalah
Setelah api membara menjilat udara
Layaknya bintang bergumintang
Seperti bocah bermain petasan
Kita....Tenggelam....

Lalu palingkan muka
Lihat menantang Vertikal
Lepas penat,peluh dan kesah
Biarkan membacah
Diantara air, tanah dan kayu
Terlihat kau disitu...................
Menunggu

Berbicara atau Berpendapat, Siapa Yang Punya?

Bagian#2 (Bersambung)

Cerita sebelumnya memunculkan semacam pertanyaan bagi kita sebagai makluk ens rationalist. Sebenarnya apakah boleh seorang perempuan menyuarakan pendapatnya atau haknya dalam kehidupan ini?. Apakah terdapat kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan dalam menyuarakan pendapatnya?. Ini mungkin sebuah pertanyaan yang sederhana bagi banyak orang, akan tetapi bila direnungkan lebih lanjut merupakan sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Memang kita boleh mengatakan bahwa kebebasan berpendapat adalah milik semua orang tak terkecuali, perempuan. Jadi perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menyuarakan pendapatnya. Tetapi dalam kenyataanya, hal ini tak terjadi. Perempuan lebih banyak menerima (nrimo) dan seringkali perempuan yang menyurakan haknya ataupun pendapatnya distigmakan sebagai seorang yang membangkang, tak tahu adat, atau yang lebih parah dicap sebagai pendosa. Hal inilah yang mungkin menjadikan perempuan cenderung untuk DIAM dan mencoba menerima segala sesuatu yang ia alami tanpa adanya sebuah proses dialektis didalamnya.

Perjuangan perempuan agar diakui keberadaanya, dimulai oleh Olympe de Gouges. Pada tahun 1791 kurang lebih dua tahun setelah meletus revulosi perancis, Olympe de Gouges menerbitkan sebuah deklarasi hak asasi kaum perempuan. Hal ini dia lakukan karena dalam Deklarasi hak asasi warga negara tidak memasukkan satu artikel pun mengenai hak almiah kaum perempuan. Olympe de Gouges menuntut hak yang sama bagi perempuan sebagaimana yang diberikan kepada laki-laki. Namun, apa yang terjadi setelah ia menuntut kesetaraan hak tersebut?. Pada tahun 1793, kepala Olympe de Gouges dipenggal dan seluruh aktivitas politik bagi kaum perempuan dilarang.

Kemudian, Simone du Beauvoir seorang eksistensialis feminis melalui bukunya The Second Sex (1949), menyatakan penolakannya terhadap "sifat dasar perempuan" dan "sifat dasar laki-laki:". Lebih lanjut lagi, Simone juga mengatakan bahwa perempuan dalam kebudayaan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. laki-laki bertindak seakan-akan mereka adalah subyek dan perempuan merupakan obyek.

Kondisi perempuan saat ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan kondisi dimasa lalu, seperti yang digambarkan diatas. Memang, kita sadari bahwa sekarang ini perempuan telah banyak mengerti mengenai hak dan kewajibannya. Namun masih banyak pula hal-hal atau hak-hak yang masih dikebiri dan dinisbikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kita ambil contoh mengenai banyaknya kekerasan terhadap perempuan di masyarakat. Dan hal ini kurang disadari oleh kaum perempuan itu sendiri, betapa tidak dengan banyaknya kasus-kasus diatas ternyata masih banyak pula perempuan yang tidak tergerak untuk menyuarakan kekerasan yang dialami. Sebagian besar dari mereka menganggap kebisuannya ini merupakan bagian dari kepatuhannya kepada suami, ataupun laki-laki.

Antara Aku, Kau dan Dirimu

Indah sungguh malam berkembang
Kelabut senja musnah bearang
Beratap hitam ku termangu
Dalam mantra, ucap, dan kata kita bersua
Beradu fantasi
Berdekap kita menyatu
Dalam kidung lagu rindu

Ada suara hilang berarti
Tak ku ubah arang berganti
Bukan bara yang tersekam
Atau abu yang mendekam

Musnah dalam sumir
Hadir tak terambil
Detik jarum memutar waktu
Kala embuskan engkau....aku

Ohhh..lengkuhan itu berhantu padaku
Tak hilang meski tlah ku tutup buku
Andai hati pancarkan rima
Indah rembulan pun khan sirna
Ada swara entah berada
Bisikkan agar tetap terjaga

Menunggu

Entah kau pikir
Lama sudah kita hadir
Terang berhadap malam
Gulita berujung pagi
Mulia diri bergantung mimpi
Hidup bermula renta.....kita berada

Bukan hidup untuk menunggu
Diantara pasti kita mati
Dan.......terus khan berganti

10/17/2006

Berbicara atau Berpendapat, Siapa Yang Punya?

Bagian#1(Bersambung)

Dalam bukunya, O'Conroy, sang profesor ini menceritakan salah satu pengalaman yang mengharukan dari seorang perempuan Jepang. Ditulisnya dalam buku tersebut "saya tidak dapat melupakan pengalaman saya pertama kali, tatkala saya menyaksikan seorang anak perempuan, pengantin baru, duduk dimuka pintu kamar tidurnya, menunggu suaminya memanggil dia dengan tepukkan tangannya. Ia baru berumur enambelas (16) tahun, mengira telah mendapatkan sebuah keberuntungan besar, karena mendapatkan suami yang agak kaya. Ia baru menikah seminggu, tatkala suaminya datang dengan membawa seorang perempuan lain (maaf- pelacur-) kerumahnya. Ia diperintahkan oleh suaminya untuk meyediakan tempat-tidur dan menunggunya di depan pintu. Ia (perempuan itu) mengoyangkan badannya ke depan dan ke belakang, merintih, seluruh badannya bergetar, dan mengigil. Ia menggenggamkan tangannya hingga kaku, dan tiap kali ia menundukkan tubuhnya ke depan, dipukul-pukulkanlah kepalanya ke papan. Tampaknya ia seperti mau memukulkan keluar pikiran-pikiran yang ada dalam kepalanya kepada saya. Tiba-tiba, mengalirlah airmata yang menetes melalui pipinya. Ia mengigit-gigit bibir mungilnya supaya tidak berteriak, dan darah segar pun mengalir dari ujung mulutnya, lalu diambil pucuk kimononya, dan diputar-putar di dalam tangannya. Kemudian ia masukan pucuk kimono tersebut ke dalam mulutnya supaya tak terdengar rintihan kesedihan hatinya. Setelah lama, sekitar setengah tahun lamanya saya tidak mengunjungi atau berjumpa dengan perempuan tersebut, terlihat dia duduk tenang sambil membaca koran dan tatkala ia melihat saya, berdirilah ia sesudah itu memanggutkan kepalanya secara biasa dan penuh kesopanan, lalu menyongsong kedatangan saya dan mengucapkan selamat datang dengan roman penuh senyum walaupun didalam kamarnya, suaminya sedang bersama perempuan lain (maaf- pelacur). Satu hal yang selama ini harus ketahui bahwa ia telah belajar, belajar, dan terus belajar bahwa kewajiban dia sebagai perempuan dan isteri adalah MENURUT" (dikutip dari buku Soekarno yang berjudul "Sarinah").

Tersebutlah nama Lilith, seorang setan perempuan dalam mitologi Yahudi. Lilith dalam mitologi Yahudi digambarkan sebagai setan perempuan yang terbang pada waktu malam untuk mencari bayi yang baru lahir maupun anak-anak dengan cara menculik ataupun melarikan anak-anak tersebut. Setan perempuan bernama Lilith ini, juga tidur dengan laki-laki untuk memperoleh keturunan atau bayi-bayi yang akan menjadi anak-anak setan. Sebenarnya Berdasarkan mitologi tersebut, Lilith merupakan isteri pertama dari Adam, Tuhan menciptakan mereka sebagai saudara kembar yang berdempetan punggung. Namun, Lilith meminta sejajar dengan Adam dan karena hal ini tidak disetujui maka dia meninggalkan Adam dengan penuh kemarahan. Setelah meninggalkan Adam berdasaarkan cerita tersebut, Lilith bersenggama dengan setan (iblis) yang kemudian melahirkan jin-jin yang kejam. Dalam versi lain, mengatakan Lilith menolak berada dibawah pada saat melakukan persetubuhan dengan Adam karena dianggapnya sebagai bentuk dominasi laki-laki. Dia mengutuk Adam dan kembali ke rumahnya, Laut merah. Kemudian Tuhan mengirim tiga malaikat Sanvi, Sansanvi, dan Samangelaf untuk menjuemput Lilith namun Lilith menolaknya. Karena itulah Tuhan kemudian menciptakan Eve (hawa), seorang isteri yang PATUH.

Terdapat dua hal berbeda dari cerita diatas. Sebuah perbedaan yang kontras diantara keduanya. Cerita pertama memperlihatkan bahwa seorang perempuan harus patuh, menurut kepada suaminya tanpa pengecualian. Ia seakan-akan (lebih tepatnya sebenarnya) tidak boleh mengungkapkan pendapatnya mengenai apapun itu (tentang kelakuan suaminya, ataupun lain sebagainya) karena sepertinya sudah takdir dia untuk menuruti suaminya tanpa penolakan. Sedangkan cerita yang kedua walaupun hanya berbentuk mitologi, sebenarnya bentuk dari seorang perempuan yang berusaha untuk menyuarakan haknya. Lilith menolak dominasi yang dilakukan Adam (laki-laki) walaupun hanya dalam persetubuhan dan ia lebih baik meninggalkan Adam yang merupakan suaminya karena tidak terakomodir oleh Adam.

10/01/2006

Apa yang Abadi (Sebuah Tanggapan)

"Apa yang berharga pada tanah liat ini selain separuh ilusi? Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi"

Begitu yang ditulis oleh seseorang dalam comment-nya. Sebenarnya ini merupakan pernyataan yang agak optimistik dalam mengenal hidup. Memang kita dalam hidup seperti dilemparkan begitu saja ke dunia ini. Sehingga mau tak mau banyak diantara manusia atau bahkan semua manusia (insan yang terbuat dari tanah liat ini), bingung atau tak mengerti tujuan kita dibumi ini. Oleh karena itu, Martin Heideger pernah melontarkan sebuah pernyatan bahwa bila manusia seperti dilemparkan dalam rentangan waktu dengan ketakutan yang dahyat, mengetahui bahwa dia akan mati , lalu apa makna sejati dari waktu hidup manusia?, Jadi bukankah ia sesungguhnya adalah peziarahan hidup menuju kematian (Zein Zum Tode).

Tetapi semua itu merupakan sebuah keniscayaan dalam hidup. Bahwa dengan hidup kita tentu menjadi mati, dan dengan hidup pula kita kita bisa mewarnai. Hal ini tak lepas dari kodrat kita sebagai Homo Significant yaitu sang pemberi makna dalam hidupnya. Memberi makna ini dapat berupa apapun sesuai dengan bidangnya, maka jika ia adalah seorang seniman dapat melalui keseniaannya, Mahasiswa melalui ke-intelektual-isannya, dan sebagainya.

Untuk itu sangat diperlukan oleh seorang manusia dalam memahami perannya dalam kehidupan yang dia jalani ini. Dan dengan dasar ini tentu manusia tersebut tak akan mengalami (apa yang seperti dikatakan Heideger) Angst. Angst merupakan kondisi dimana manusia mengalami ketakutan yang amat sangat karena ketakutannya menghadapi kematian.

Jadi, kawan bukan karena kita ini tanah maka kita retak. Namun dengan menyadari keretakan itu kita dapat membuatnya Abadi dengan karya yang kita tinggalkan didunia. Oleh karena itu sudah kita membuat hidup ini abadi? that more important than the others.